Pengertian Etika
Etika bisnis
merupakan suatu pengembangan dari konsep Etika. Etika bisnis adalah aplikasi
dari prinsip-prinsip etika yang diterapkan sehubungan munculnya masalah masalah
dalam bisnis. Dalimunthe (2004) berpendapat bahwa etika bisnis dapat diartikan
sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus
diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan
bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat
dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada
hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bisnis tidak
hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok,
pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain. Sim (2003) dalam bukunya Ethics and
Corporate Social Responsibility – Why Giants Fall, menyebutkan: Ethics is a
philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or
custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in
that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent
values in service to the public. Jadi disini definisi Etika adalah merujuk pada
kata “etos”, yang artinya kebiasaan atau karakter. Dalam pendefinisian etika,
hal ini berhubungan erat kepada konsep efektivitas kepemimpinan dalam
organisasi, dan merujuk pada suatu pengkodean dalam organisasi dimana dalam
menyampaikan integritas moral dan nilai-nilai konsisten kepada orang banyak/masyarakat.
Secara terperinci,
Richard T.de George menyebut bahwa etika bisnis menyangkut empat kegiatan
sebagai berikut:
1. Penerapan prinsip-prinsip umum dalam
praktik bisnis. Berdasarkan prinsi-prinsip etika bisnis itu kita dapat
menyoroti dan menilai apakah suatu keputusan atau tindakan yang diambil dalam
dunia bisnis secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Dengan demikian etik
bisnis membantu para pelaku bisnis untuk mencari cara guna mencegah tindakan
yang dinilai tidak etis.
2. etika bisnis tidak hanya menyangkut
penerapan prinsip-prinsip etika pada dunia bisnis, tetapi juga metaetika. Dalam
hubungan ini, etika bisnis mengkaji apakah perilaku yang dinilai etis pada
individu juga dapat berlaku pada organisais atau perusahaan bisnis. Selanjutnya
etika bisnis menyoroti apakah perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial atau
tidak.
3. bidang telaah etika bisnis menyangkut
pandangan – pandangan mengenai bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis mengkaji
moralitas sistem ekonomi pada umumnya dan sistem ekonomi publik pada khususnya,
misalnya masalah keadilan sosial, hak milik, dan persaingan.
4. etika bisnis juga menyentuh bidang yang
sangat makro, seperti operasi perusahaan multinasional, jaringan konglomerat
internasional, dan lain- lain.
Relativitas
Moral
Moralitas adalah pedoman
yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau
baik dan jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai
jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan
nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral
baik atau secara moral buruk. Norma moral seperti “selalu katakan kebenaran”,
“membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral biasanya
diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau
ciri-ciri objek yang bernilai,semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan
itu buruk”. Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari
keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi,
majalah, music dan perkumpulan.
Hakekat standar moral :
- Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
- Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.
- Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya) kepentingan diri.
- Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
- Standar
moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL
A.
Perkembangan Moral.
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral
seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur
mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan patuh untuk menghindari
hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional secara
bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada
pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian
manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan
secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman,
budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih
memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan
perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.Menurut
ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2
tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan
dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada
tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan
dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.Tahap satu :
Orientasi Hukuman dan Ketaatan Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah
tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu.
Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau
menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar. Tahap dua : Orientasi
Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada
level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan
loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat
melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok
sosialnya. Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal Pada tahap ini,
melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku
yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain. Tahap Empat :
Orientasi pada Hukum dan Keteraturan Benar dan salah pada tahap konvensional
yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau
masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai
dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada
tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara
adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan
nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian
prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional.
Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang
memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya. Tahap Lima : Orientasi pada
Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi. Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi. Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori
Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan
memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam
menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua
orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal
sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional,
benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk
menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang
berkuasa. Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah
maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma
kelompok sosial mereka atau hukum Negara atau masyarakat mereka. Namun
demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan
yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan
salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang
mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
Kognitivisme dan Non-Kognitivisme
Pembagian pertama dan terbesar dalam
teori etika adalah antara pernyataan bahwa dimungkinkan untuk bisa mengetahui
moral yang salah dari yang benar dan penolakan dari pernyataan tersebut. Karena
dua pernyataan ini mengenai apa yang bisa dan tidak bisa kita ketahui, posisi
yang menyatakan bahwa kita bisa mengetahuinya disebut “kognitivisme” sedang
pada posisi yang bertentangan disebut “non-cognitivism”.
Menurut kognitivisme, ada kebenaran
moral yang obyektif yang bisa diketahui, ketika kita bisa mengetahui kebenaran
yang lain mengenai kehidupan. Sedangkan menurut non-kognitisme, penilaian
“obyektif” mengenai keyakinan moral tidak mungkin bisa dilakukan. Semua hal adalah
“subyektif”. Tidak ada benar atau salah yang bisa diketahui secara pasti. Yang
ada hanya keyakinan, pendirian/sikap, reaksi emosional, dan semacamnya. Yang
juga pernah disinggung oleh Hamlet “tidak ada sesuatu yang baik ataupun buruk
kecuali karena kita berpikir demikian”
Moralitas
Religius
Sebuah sumber moralitas yang jelas dianggap ada dalam agama. Lagi pula,
jika memang ada Tuhan, siapa lagi yang lebih baik dari-Nya untuk menyatakan apa
yang benar dan apa yang salah? Menurut banyak orang di sepanjang abad ini,
mereka telah membangun etika mereka melalui agama – termasuk beberapa usahawan
dan usahawati modern.
Teori yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan mereka semata-mata benar
karena Tuhan memerintahkannya disebut teori “Perintah Tuhan”. Teori tersebut
sangat populer dan sederhana, namun juga sangat membingungkan.
Penulis menyimpulkan bahwa sangatlah mungkin untuk memiliki moralitas
tanpa agama, dan bahwa moralitas religius pada akhirnya akan membawa kita pada
alasan yang tidak tergantung pada agama. Namun seseorang dapat berbicara
mengenai “moralitas religius” dalam pengertian bahwa tiap agama tertentu
memiliki kode moral khusus yang diikuti oleh penganutnya dalam suasana tradisi
keagamaan.
Konsekuensalisme VS Non Konsekuensalisme
Pembagian dalam pemikiran kognitivis adalah antara teori yang menilai
moral yang benar dan yang salah dipandang dari segi konsekuensi tindakan dan
teori yang berlawanan dengannya. Yang memandang dari segi konsekuensi disebut
teori “konsekuensial”, sedangkan yang berlawanan dengannya disebut
“non-konsekuensial”.
Dengan teori konsekuensial kita melihat hasil dari tindakan seseorang
untuk menentukan benar atau salah mengenai penilaian moral terhadap mereka.
Jika tindakan itu mendatangkan manfaat atau keuntungan, maka tindakan itu
disebut “baik” dan kita dianggap “benar” jika melakukannya; sebaliknya jika
hasilnya merugikan maka tindakan itu disebut “buruk” dan kita dianggap “salah”
jika melakukannya.
Bagi aliran non-konsekuensial, tidak ada pertimbangan lebih dulu mengenai
konsekuensi manfaat dan kerugian untuk menentukan baik dan buruk. Baik dan
buruk tidak berarti benar ataupun salah, namun sesuatu yang benar dan salah itu
yang menentukan baik dan buruknya sesuatu tindakan.
Kecenderungan konsekuensialis dan non-konsekuensialis terhadap benar dan
salah dimungkinkan memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh. Hal ini tidak
berarti bahwa kebanyakan dari semua ini merupakan perselisihan teoretis murni
dengan memuat permasalahan moral yang sesungguhnya (substantif). Pembagian
konsekuensialis dan non-konsekuensialis juga dimungkinkan untuk menunjukkan
kepada dirinya sendiri mengenai respon masing-masing pihak terhadap
permasalahan moral; mereka memiliki konsepsi moral yang sangat berbeda mengenai
hakekat permasalahan dan karenanya juga memiliki pendekatan yang sangat berbeda
dalam memecahkan sebuah masalah.
Utilitarianisme : Etika Kesejahteraan
Teori Etika Konsekuensialis yang paling dikenal baik adalah
“utilitarianisme”. Nama ini diambil dari pemakaian kata utility untuk
menunjukkan kapasitas tindakan guna mendapatkan hasil yang baik. Pilihan kata
ini menyatakan tentang hakekat dari teori konsekuensialis. Utility
berarti kegunaan/manfaat – mendasari pandangan bahwa hal itu merupakan kegunaan
dari tindakan yang menetapkan karakter moral mereka daripada hal lain dalam
hakekat tindakannya tersebut. Tindakan bukanlah sesuatu yang memiliki nilai
baik ataupun buruk, namun manfaat tindakan itu yang akan membuatnya
sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Dalam istilah utilitarianisme, semakin
baik hasil dari sebuah tindakan, semakin besar pula manfaat/utilitasnya;
semakin buruk hasilnya maka dia akan semakin tidak manfaat.
Aliran Kant : Etika Kewajiban
Aliran non-konsekuensial dalam etika sering dikenal dengan sebuah
pendekatan yang dinamakan “deontologi” (dari bahasa Yunani yang artinya
kewajiban). Rumusan sederhana namun definitif dari pendekatan itu dirumuskan
oleh seorang filosof Jerman bernama Immanuel Kant (1724 – 1804). Meskipun
banyak bertentangan dengan teori utilitarian Bentham, teori Kant juga
menyatakan bahwa segala sesuatu itu hanya “baik untuk dirinya sendiri”. Bedanya
adalah bahwa Bentham mengatakan sesuatu itu adalah kebahagiaan, sedangkan bagi
Kant adalah “keinginan baik”. Sebuah tindakan dinilai baik secara moral hanya
jika kinerja orang tersebut dimotivasi oleh keinginan yang baik; secara moral
hal itu salah jika tidak seperti itu. Hanya memiliki keinginan saja membuat
tindakan itu menjadi benar, memiliki keinginan tidak baik itu sudah membuatnya
menjadi salah. Intinya bahwa tindakan itu dilakukan untuk alasan-alasan
mendasar; rasa memiliki suatu kewajiban, tidak ada alasan yang lainnya.
Hukum Alam : Etika Keadilan
Ada tradisi ke
tiga dari pemikiran etika yang merupakan pelengkap dari aliran deontologi Kant
yang di sebut doktrin Hukum Alam. Ide dasarnya adalah bahwa di atas manusia
terdapat aturan moral yang obyektif, yaitu “hukum alam” yang membatasi kekuatan
pemerintah. Pemerintah berlaku terlalu tidak adil jika dilihat dari segi aturan
moral. Hukum yang mereka buat memang seharusnya tidak perlu ditaati. Secara
berangsur-angsur ide ini menjadi sebuah ikatan perjanjian antara pemerintah dan
yang diperintah (rakyat), dimana pemerintah berkewajiban untuk mentaati hukum
alam, dan rakyat berkewajiban untuk mentaati pemerintah.
Pada abad ke-17, terjadi perubahan atas ide ini. Perjanjian tidak lagi
dilakukan antara pemerintah dan rakyat, melainkan menjadi perjanjian antar
rakyat itu sendiri untuk membentuk dan memperkuat pemerintahan yang ada. Dari
sinilah dasar-dasar demokrasi dalam pemerintahan mulai terbentuk.
Etika Keadilan aliran Kant ini memiliki hubungan erat dengan hak asasi
manusia yang telah didengungkan oleh organisasi-organisasi pejuang kemerdekaan
dan hak asasi manusia seperti American Declaration of Independence (1776) dan French
Declaration of the Rights of Man (1789). Pertama, doktrin kehormatan memiliki
hubungan yang nyata dengan hak asasi manusia. Dalam kedua hal tersebut terdapat
status yang bagi semua orang yang membuat mereka mampu melindungi diri dari
pelanggaran oleh orang lain. Selain itu juga terdapat hubungan logis tertentu
antara kewajiban moral dan hak asasi manusia. Dimana ada hak asasi manusia yang
harus dihormati, disana pasti juga ada kewajiban moral untuk menghormati hak
tersebut.
Mengaplikasikan Teori –Teori
Tak ada satupun dari tiga teori di atas yang bisa berdiri sendiri. Tujuan
untuk melayani kepentingan umum harus dibarengi dengan pengakuan atas hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban tidak pernah bisa dipisahkan, dan juga tidak akan
bisa dicapai tanpa memperhatikan pertimbangan atas kesejahteraan bersama.
Kewajiban membuat permasalahan mengenai motif muncul ke permukaan. Ketika
kita melakukan suatu kewajiban, kita tidak h anya bertujuan untuk melakukan hal
yang benar, melainkan melakukannya untuk alasan yang benar. Melaksanakan
kewajiban artinya bahwa kita pantas untuk menerima penghargaan moral atas
tindakan kita – juga manfaat yang akan mengikutinya.
Prinsip-Prinsip Etika Dalam Bisnis
Prof. Dr. H.
Yudha Bhakti A.,SH., MH. (2009) mengungkapkan bahwa dalam etika bisnis berlaku
prinsip-prinsip yang seharusnya dipatuhi oleh para pelaku bisnis. Prinsip
dimaksud adalah :
- Prinsip otonomi yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukkan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambilnya.
- Prinsip Kejujuran : bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan kejujuran karena kejujuran kunci keberhasilan suatu bisnis ( misal kejujuran dalam pelaksanaan kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran dalam hubungan kerja dan lain-lain).
- Prinsip keadilan : bahwa setiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakukan sesuai dengan haknya masing-masing, artinya tidak boleh ada yang dirugikan haknya.
- Prinsip saling menguntungkan : agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan, demikian pula dalam berbisnis yang kompetitif.
- Prinsip integritas moral : prinsip ini merupakan dasar dalam bberbisnis dimana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnis mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.
Dalam menciptakan etika bisnis,
Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut
:
Pengendalian Diri
Artinya,
pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak
memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku
bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau
memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan
yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga
harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang
“etik”.
Pengembangan Tanggung
Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis
disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam
bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus
menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan
excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan
sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa
dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal
pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan
jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan
informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun
demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi,
tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan
kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki
akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
Menciptakan Persaingan
yang Sehat
Persaingan
dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi
persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat
jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah,
sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect
terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu
ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
Menerapkan Konsep
“Pembangunan Berkelanjutan”
Dunia bisnis
seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu
memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang.Berdasarkan ini jelas pelaku
bisnis dituntut tidak meng-”ekspoitasi” lingkungan dan keadaan saat sekarang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang
walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar