Rabu, 03 April 2013

TEORI ETIKA DAN PRINSIP ETIS DALAM BISNIS


Pengertian Etika
Etika bisnis merupakan suatu pengembangan dari konsep Etika. Etika bisnis adalah aplikasi dari prinsip-prinsip etika yang diterapkan sehubungan munculnya masalah masalah dalam bisnis. Dalimunthe (2004) berpendapat bahwa etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain. Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility – Why Giants Fall, menyebutkan: Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public. Jadi disini definisi Etika adalah merujuk pada kata “etos”, yang artinya kebiasaan atau karakter. Dalam pendefinisian etika, hal ini berhubungan erat kepada konsep efektivitas kepemimpinan dalam organisasi, dan merujuk pada suatu pengkodean dalam organisasi dimana dalam menyampaikan integritas moral dan nilai-nilai konsisten kepada orang banyak/masyarakat.
Secara terperinci, Richard T.de George menyebut bahwa etika bisnis menyangkut empat kegiatan sebagai berikut:
1. Penerapan prinsip-prinsip umum dalam praktik bisnis. Berdasarkan prinsi-prinsip etika bisnis itu kita dapat menyoroti dan menilai apakah suatu keputusan atau tindakan yang diambil dalam dunia bisnis secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Dengan demikian etik bisnis membantu para pelaku bisnis untuk mencari cara guna mencegah tindakan yang dinilai tidak etis.
2. etika bisnis tidak hanya menyangkut penerapan prinsip-prinsip etika pada dunia bisnis, tetapi juga metaetika. Dalam hubungan ini, etika bisnis mengkaji apakah perilaku yang dinilai etis pada individu juga dapat berlaku pada organisais atau perusahaan bisnis. Selanjutnya etika bisnis menyoroti apakah perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial atau tidak.
3. bidang telaah etika bisnis menyangkut pandangan – pandangan mengenai bisnis. Dalam hal ini, etika bisnis mengkaji moralitas sistem ekonomi pada umumnya dan sistem ekonomi publik pada khususnya, misalnya masalah keadilan sosial, hak milik, dan persaingan.
4. etika bisnis juga menyentuh bidang yang sangat makro, seperti operasi perusahaan multinasional, jaringan konglomerat internasional, dan lain- lain.

Relativitas Moral
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma moral seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau ciri-ciri objek yang bernilai,semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”. Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan.
Hakekat standar moral :
  1. Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
  2. Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu.
  3. Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya) kepentingan diri.
  4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
  5. Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
    Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL
A.    Perkembangan Moral.
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman, budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun, menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar. Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya. Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain. Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.

3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya. Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi. Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum Negara atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
Kognitivisme dan Non-Kognitivisme
Pembagian pertama dan terbesar dalam teori etika adalah antara pernyataan bahwa dimungkinkan untuk bisa mengetahui moral yang salah dari yang benar dan penolakan dari pernyataan tersebut. Karena dua pernyataan ini mengenai apa yang bisa dan tidak bisa kita ketahui, posisi yang menyatakan bahwa kita bisa mengetahuinya disebut “kognitivisme” sedang pada posisi yang bertentangan disebut “non-cognitivism”.
Menurut kognitivisme, ada kebenaran moral yang obyektif yang bisa diketahui, ketika kita bisa mengetahui kebenaran yang lain mengenai kehidupan. Sedangkan menurut non-kognitisme, penilaian “obyektif” mengenai keyakinan moral tidak mungkin bisa dilakukan. Semua hal adalah “subyektif”. Tidak ada benar atau salah yang bisa diketahui secara pasti. Yang ada hanya keyakinan, pendirian/sikap, reaksi emosional, dan semacamnya. Yang juga pernah disinggung oleh Hamlet “tidak ada sesuatu yang baik ataupun buruk kecuali karena kita berpikir demikian”

Moralitas Religius
Sebuah sumber moralitas yang jelas dianggap ada dalam agama. Lagi pula, jika memang ada Tuhan, siapa lagi yang lebih baik dari-Nya untuk menyatakan apa yang benar dan apa yang salah? Menurut banyak orang di sepanjang abad ini, mereka telah membangun etika mereka melalui agama – termasuk beberapa usahawan dan usahawati modern.
Teori yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan mereka semata-mata benar karena Tuhan memerintahkannya disebut teori “Perintah Tuhan”. Teori tersebut sangat populer dan sederhana, namun juga sangat membingungkan.
Penulis menyimpulkan bahwa sangatlah mungkin untuk memiliki moralitas tanpa agama, dan bahwa moralitas religius pada akhirnya akan membawa kita pada alasan yang tidak tergantung pada agama. Namun seseorang dapat berbicara mengenai “moralitas religius” dalam pengertian bahwa tiap agama tertentu memiliki kode moral khusus yang diikuti oleh penganutnya dalam suasana tradisi keagamaan.

Konsekuensalisme VS Non Konsekuensalisme

Pembagian dalam pemikiran kognitivis adalah antara teori yang menilai moral yang benar dan yang salah dipandang dari segi konsekuensi tindakan dan teori yang berlawanan dengannya. Yang memandang dari segi konsekuensi disebut teori “konsekuensial”, sedangkan yang berlawanan dengannya disebut “non-konsekuensial”.
Dengan teori konsekuensial kita melihat hasil dari tindakan seseorang untuk menentukan benar atau salah mengenai penilaian moral terhadap mereka. Jika tindakan itu mendatangkan manfaat atau keuntungan, maka tindakan itu disebut “baik” dan kita dianggap “benar” jika melakukannya; sebaliknya jika hasilnya merugikan maka tindakan itu disebut “buruk” dan kita dianggap “salah” jika melakukannya.
Bagi aliran non-konsekuensial, tidak ada pertimbangan lebih dulu mengenai konsekuensi manfaat dan kerugian untuk menentukan baik dan buruk. Baik dan buruk tidak berarti benar ataupun salah, namun sesuatu yang benar dan salah itu yang menentukan baik dan buruknya sesuatu tindakan.
Kecenderungan konsekuensialis dan non-konsekuensialis terhadap benar dan salah dimungkinkan memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh. Hal ini tidak berarti bahwa kebanyakan dari semua ini merupakan perselisihan teoretis murni dengan memuat permasalahan moral yang sesungguhnya (substantif). Pembagian konsekuensialis dan non-konsekuensialis juga dimungkinkan untuk menunjukkan kepada dirinya sendiri mengenai respon masing-masing pihak terhadap permasalahan moral; mereka memiliki konsepsi moral yang sangat berbeda mengenai hakekat permasalahan dan karenanya juga memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam memecahkan sebuah masalah.

Utilitarianisme : Etika Kesejahteraan

Teori Etika Konsekuensialis yang paling dikenal baik adalah “utilitarianisme”. Nama ini diambil dari pemakaian kata utility untuk menunjukkan kapasitas tindakan guna mendapatkan hasil yang baik. Pilihan kata ini menyatakan tentang hakekat dari teori konsekuensialis. Utility berarti kegunaan/manfaat – mendasari pandangan bahwa hal itu merupakan kegunaan dari tindakan yang menetapkan karakter moral mereka daripada hal lain dalam hakekat tindakannya tersebut. Tindakan bukanlah sesuatu yang memiliki nilai baik ataupun buruk, namun manfaat tindakan itu yang akan membuatnya sebagai sesuatu yang baik atau buruk. Dalam istilah utilitarianisme, semakin baik hasil dari sebuah tindakan, semakin besar pula manfaat/utilitasnya; semakin buruk hasilnya maka dia akan semakin tidak manfaat.

Aliran Kant : Etika Kewajiban

Aliran non-konsekuensial dalam etika sering dikenal dengan sebuah pendekatan yang dinamakan “deontologi” (dari bahasa Yunani yang artinya kewajiban). Rumusan sederhana namun definitif dari pendekatan itu dirumuskan oleh seorang filosof Jerman bernama Immanuel Kant (1724 – 1804). Meskipun banyak bertentangan dengan teori utilitarian Bentham, teori Kant juga menyatakan bahwa segala sesuatu itu hanya “baik untuk dirinya sendiri”. Bedanya adalah bahwa Bentham mengatakan sesuatu itu adalah kebahagiaan, sedangkan bagi Kant adalah “keinginan baik”. Sebuah tindakan dinilai baik secara moral hanya jika kinerja orang tersebut dimotivasi oleh keinginan yang baik; secara moral hal itu salah jika tidak seperti itu. Hanya memiliki keinginan saja membuat tindakan itu menjadi benar, memiliki keinginan tidak baik itu sudah membuatnya menjadi salah. Intinya bahwa tindakan itu dilakukan untuk alasan-alasan mendasar; rasa memiliki suatu kewajiban, tidak ada alasan yang lainnya.

Hukum Alam : Etika Keadilan

Ada tradisi ke tiga dari pemikiran etika yang merupakan pelengkap dari aliran deontologi Kant yang di sebut doktrin Hukum Alam. Ide dasarnya adalah bahwa di atas manusia terdapat aturan moral yang obyektif, yaitu “hukum alam” yang membatasi kekuatan pemerintah. Pemerintah berlaku terlalu tidak adil jika dilihat dari segi aturan moral. Hukum yang mereka buat memang seharusnya tidak perlu ditaati. Secara berangsur-angsur ide ini menjadi sebuah ikatan perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah (rakyat), dimana pemerintah berkewajiban untuk mentaati hukum alam, dan rakyat berkewajiban untuk mentaati pemerintah.
Pada abad ke-17, terjadi perubahan atas ide ini. Perjanjian tidak lagi dilakukan antara pemerintah dan rakyat, melainkan menjadi perjanjian antar rakyat itu sendiri untuk membentuk dan memperkuat pemerintahan yang ada. Dari sinilah dasar-dasar demokrasi dalam pemerintahan mulai terbentuk.
Etika Keadilan aliran Kant ini memiliki hubungan erat dengan hak asasi manusia yang telah didengungkan oleh organisasi-organisasi pejuang kemerdekaan dan hak asasi manusia seperti American Declaration of Independence (1776) dan French Declaration of the Rights of Man (1789). Pertama, doktrin kehormatan memiliki hubungan yang nyata dengan hak asasi manusia. Dalam kedua hal tersebut terdapat status yang bagi semua orang yang membuat mereka mampu melindungi diri dari pelanggaran oleh orang lain. Selain itu juga terdapat hubungan logis tertentu antara kewajiban moral dan hak asasi manusia. Dimana ada hak asasi manusia yang harus dihormati, disana pasti juga ada kewajiban moral untuk menghormati hak tersebut.

Mengaplikasikan Teori –Teori

Tak ada satupun dari tiga teori di atas yang bisa berdiri sendiri. Tujuan untuk melayani kepentingan umum harus dibarengi dengan pengakuan atas hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tidak pernah bisa dipisahkan, dan juga tidak akan bisa dicapai tanpa memperhatikan pertimbangan atas kesejahteraan bersama.
Kewajiban membuat permasalahan mengenai motif muncul ke permukaan. Ketika kita melakukan suatu kewajiban, kita tidak h anya bertujuan untuk melakukan hal yang benar, melainkan melakukannya untuk alasan yang benar. Melaksanakan kewajiban artinya bahwa kita pantas untuk menerima penghargaan moral atas tindakan kita – juga manfaat yang akan mengikutinya.

Prinsip-Prinsip Etika Dalam Bisnis
Prof. Dr. H. Yudha Bhakti A.,SH., MH. (2009) mengungkapkan bahwa dalam etika bisnis berlaku prinsip-prinsip yang seharusnya dipatuhi oleh para pelaku bisnis. Prinsip dimaksud adalah :
  1. Prinsip otonomi yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukkan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambilnya.
  2. Prinsip Kejujuran : bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan kejujuran karena kejujuran kunci keberhasilan suatu bisnis ( misal kejujuran dalam pelaksanaan kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran dalam hubungan kerja dan lain-lain).
  3. Prinsip keadilan : bahwa setiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakukan sesuai dengan haknya masing-masing, artinya tidak boleh ada yang dirugikan haknya.
  4. Prinsip saling menguntungkan : agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan, demikian pula dalam berbisnis yang kompetitif.
  5. Prinsip integritas moral : prinsip ini merupakan dasar dalam bberbisnis dimana para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha bisnis mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.
Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etik”.
Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan”
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang.Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-”ekspoitasi” lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar